Kelompok radikal Buddha, termasuk para biksu Myanmar berdemo di Yangon, Rabu (30/08/2017). Mereka mendesak militer bertindak lebih keras terhadap pejuang dari etnis minoritas Muslim Rohingya.

Biksu terkenal radikal, Wirathu, ikut ambil bagian dalam demonstrasi tersebut. Massa menuduh kelompok pejuang Rohingya yang bernama Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) sebagai pemicu kekerasan terbaru di Rakhine Myanmar.

Diberitakan, ARSA pada Kamis malam pekan lalu menyerang pos-pos polisi perbatasan yang menewaskan 12 polisi Myanmar. Serangan itu memicu operasi militer dan konfrontasi. Total 103 orang tewas, yakni 12 polisi, 77 orang diklaim anggota ARSA dan 14 orang lainnya merupakan warga sipil Rohingya.

Sekitar 18.000 warga Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh dalam waktu kurang dari seminggu. Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi, ratusan warga Rohingya terdampar di wilayah perbatasan kedua negara.

Wirathu, seorang biksu radikal Buddha dan pemimpin gerakan anti-Muslim yang dikenal dengan khotbah yang provokatif mengatakan kepada demonstran di Yangon bahwa hanya militer yang dapat mengendalikan situasi di Rakhine utara.

Dia mengkritik pemerintah sipil Aung San Suu Kyi karena tidak menanggapi dengan cepat seruan militer untuk menggelar pertemuan Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional. Pertemuan itu, kata dia bisa dijadikan kesempatan bagi pemerintah mengumumkan keadaan darurat di Rakhine dan memberikan wewenang mutlak kepada militer untuk menegakkannya.

”Hanya komandan militer yang bisa melindungi nyawa dan hak milik masyarakat,” kata Wirathu. ”Militer adalah satu-satunya yang bisa memberi pelajaran untuk menjinakkan para teroris Bengali,” katanya lagi, seperti dikutip dari Bangkok Post, Kamis (31/8/2017).

Kelompok radikal Buddha Myanmar kerap menggunakan istilah Bengali untuk warga Rohingya sebagai julukan atas status migrasi mereka dari Bangladesh yang ilegal.

Wirathu juga mengecam kelompok-kelompok bantuan internasional yang oleh pemerintah telah ditudu —tanpa bukti—memberikan bantuan kepada pejuang Rohingya. Tuduhan tersebut beredar luas di media sosial. [sumber]