Lebih dari 2.600 rumah telah dibakar di kawasan mayoritas yang dihuni warga Rohingya di bagian barat laut Myanmar dalam seminggu terakhir, kata pemerintah Myanmar, dilansir Reuters, Sabtu 2-9-2017. Pembakaran rumah-rumah itu merupakan salah satu penderitaan yang dialami etnis minoritas Muslim akibat kekerasan selama berpuluh-puluh tahun.

Sekitar 58.600 orang Rohingya sudah menyelamatkan diri ke Bangladesh dari Myanmar, menurut lembaga pengungsi PBB UNHCR, sementara para pekerja di sana berjibaku untuk mengatasinya.

Para pejabat Myanmar menyalahkan Tentara Penyelamatan Rohingya Arakan (ARSA) atas pembakaran rumah-rumah. Kelompok itu mengaku bertanggung jawab atas serangan-serangan terkoordinasi terhadap pos-pos keamanan pekan lalu yang menimbulkan bentrokan dan balasan dalam skala besar oleh tentara.

Tetapi penduduk Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh mengatakan kampanye dengan melakukan pembunuhan dan pembakaran oleh tentara Myanmar bertujuan untuk memaksa mereka keluar dari Myanmar.

Perlakuan terhadap Rohingya yang berjumlah 1,1 juta jiwa merupakan tantangan terbesar yang dihadapi pemimpin Aung San Suu Kyi, yang dikritik diam saja, atas apa yang dialami minoritas Muslim yang telah lama mengeluhkan persekusi.

Kekerasan meningkat sejak Oktober 2016, sewaktu serangan yang lebih kecil oleh Rohingya terhadap pos-pos keamanan menyebabkan serangan balasan oleh tentara yang dituduh melaksanakan pelanggaran hak-hak asasi manusia. Pembakaran rumah-rumah merupakan salah satu penderitaan yang dialami etnis minoritas Muslim itu akibat kekerasan selama berpuluh-puluh tahun.

“Sebanyak 2.625 rumah dari desa-desa Kotankauk, Myinlut dan Kyikanpyin dan 2 daerah di Maungtaw dibakar oleh ARSA,” demikian “Global New Light of Myanmar” yang dikelola negara. Kelompok ARSA dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh pemerintah.

Tetapi Human Rights Watch, yang menganalisis laporan-laporan dan gambar satelit dari Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh, mengatakan pasukan keamanan Myanmar secara sengaja membakar rumah-rumah itu.

“Gambar satelit baru menunjukkan kerusakan total sebuah desa Muslim, menimbulkan keprihatinan serius bahwa level kerusakan di negara bagian Rakhine jauh lebih buruk daripada yang diperkirakan. Bahkan tsunami dahsyat seperti yang pernah terjadi di Aceh,” kata Phil Robertson, deputi direktur Asia Human Rights Watch.

Di dekat sungai Naf yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh, orang-orang Rohingya masih berdatangan ke Bangladesh dengan membawa harta yang mereka bisa bawa.