Para korban selamat dalam kekerasan di Rakhine mengungkap bahwa ”pembersihan” etnis Rohingya sedang berlangsung oleh tindakan brutal pasukan keamanan Myanmar. Salah seorang saksi mengaku dua kepnoakannya yang masih anak-anak dieksekusi penggal.

Seorang saksi berusia 41 tahun mengatakan kepada kelompok pemantau HAM, Fortify Rights, bahwa dia menemukan saudara dan anggota keluarga yang lainnya di sebuah lapangan setelah serangan oleh pasukan keamanan Myanmar di Desa Chut Pyin, Kota Ratheduang.

”Mereka memiliki bekas luka di tubuh akibat peluru dan beberapa luka lainnya,” kata saksi yang identitasnya dilindungi tersebut.

”Dua keponakan saya, kepala mereka dipenggal, yang satu berusia enam tahun dan yang lainnya berusia sembilan tahun. Kakak ipar saya juga ditembak dengan pistol,” lanjut saksi.

Seorang korban selamat berusia 27 tahun dari desa tersebut mengungkap kebrutalan serupa kepada Fortify Rights.”Beberapa orang dipenggal dan banyak yang dipotong ketika kita melihat itu, kita baru saja kehilangan rumah,” katanya.

”Situasinya mengerikan,” kata Matthew Smith, Kepala Eksekutif Fortify Rights, seperti dilansir The Sydney Morning Herald, Sabtu (2/9/2017).

Pemerintah dan militer Myanmar mengatakan hampir 400 orang tewas dalam bentrokan sejak kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang 30 pos polisi pada 25 Agustus, yang menewaskan 12 petugas.

Tapi, para pemantau HAM tak percaya dengan data itu. Mereka meyakini korban jiwa, terutama dari kelompok minoritas Rohingya mencapai ribuan.

Pasukan keamanan Myanmar menanggapi serangan kelompok militan dengan tindakan brutal brutal yang mereka sebut ”operasi pembersihan” yang memaksa hampir 40.000 orang Rohingya melarikan diri ke perbatasan dengan Bangladesh dalam seminggu terakhir.

Human Rights Watch mengatakan pada hari Sabtu bahwa citra satelit baru menunjukkan ratusan bangunan telah hancur selama seminggu terakhir, termasuk penghancuran total sebuah desa.

Kelompok yang bermarkas di New York tersebut mengatakan bahwa banyak pengungsi yang melarikan diri dari desa-desa di Rakhine, yang menampung 1,1 juta orang tanpa kewarganegaraan dan teraniaya. Para pengungsi mengatakan bahwa tentara dan polisi Myanmar membakar rumah mereka dan menyerang penduduk desa.

Banyak dari mereka yang tiba di perbatasan Bangladesh dengan luka tembak dan luka akibat serangan lainnya. Bangladesh menolak membuka pos perbatasannya, yang menyebabkan sekitar 20.000 orang Rohingya terdampar.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa  (PBB) Antonio Guterres telah mendesak militer Myanmar menahan diri. Dia memperingatkan bahwa situasi di Rakhine berpotensi menjadi malapetaka kemanusiaan.